Feodal: Mereka yang Mengejar Tenar dan Viral, Bukan yang Mengajarkan Moral

Di negeri ini, kata “feodal” kini menjadi senjata baru untuk merendahkan institusi keagamaan yang sarat dengan makna sakral. Sebagian orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren dengan mudah menuduh kiai, santri, dan sistem pendidikannya sebagai sisa feodalisme masa lalu, hanya karena melihat santri begitu taat, karena mereka mencium tangan guru, karena mereka memperlakukan kiai dengan penuh ta’dzim dalam khidmah dan bakti. Mereka melihat bentuk, tetapi gagal menangkap ruh yang tersembunyi di dalamnya. Mereka memandang hormat sebagai tunduk, dan adab sebagai perbudakan. Hubungan kiai-santri bukanlah relasi kekuasaan, melainkan relasi kasih-sayang dan pewarisan ruhani. Ia bukan hubungan superior-inferior, bukan pula antara penguasa dan pelayan, melainkan hubungan ayah dan anak, guru dan murid, kasih dan pengabdian. Kiai tidak memerintah untuk ditaati secara buta, tetapi membimbing agar santri belajar taat hanya kepada kebenaran. Santri pun tidak patuh karena takut, melainkan karena cinta, cinta yang tumbuh dari keyakinan bahwa setiap ucapan kiai membawa hikmah, setiap teguran adalah pendidikan, dan setiap perintah adalah latihan kesadaran spiritual. Di pesantren, ketaatan bukanlah pengekangan, melainkan jalan menuju pembebasan batin. Sebab manusia yang tidak pernah belajar taat, tak akan pernah tahu bagaimana menjadi merdeka dari egonya sendiri. Dan manusia yang tak pernah berlatih menghormati, akan kehilangan kemampuan untuk mencintai. Bagi santri, menundukkan pandangan di hadapan guru bukanlah tanda perendahan diri, melainkan pengangkatan derajat hati.

Kini, di tengah riuh dunia digital yang semakin gaduh, kata “feodal” tiba-tiba kembali dihidupkan, diangkat sebagai tudingan baru terhadap pesantren, seolah-olah lembaga yang telah melahirkan ulama, pejuang, dan pendidik bangsa ini hanyalah simbol masa lalu yang layak ditinggalkan.
Mereka ingin menghinakan pesantren dan para penjaga ilmunya, namun justru diri merekalah yang dihinakan oleh kedangkalannya sendiri. Mereka ingin memadamkan cahaya Allah yang memancar dari kesederhanaan pesantren, tetapi cahaya itu tak akan pernah padam. Sebagaimana firman Allah: Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir membencinya.” (QS. As-Shaff [61]: 8)  Orang-orang yang berteriak menentang feodalisme, justru tengah membangun kerajaan kecil di dunia maya, tempat mereka dipuja oleh angka, diikuti oleh algoritma, dan dijajah oleh ketenaran. Mereka ingin membakar pesantren dengan tuduhan feodal, tetapi akhirnya mereka sendiri yang terpanggang oleh api yang diciptakannya sendiri, api kesombongan, api ego, dan api ketidakpahaman terhadap ruh ilmu dan adab. Sementara di pesantren, para santri terus berjalan dalam diam, menimba ilmu dengan sabar, mencintai kiainya dengan penuh hormat, dan bekerja dengan tulus tanpa pamrih. Mereka mungkin tak viral, tetapi di pundak merekalah moral bangsa ini berdiri. Para santri mungkin tak dikenal publik, tetapi nama-nama mereka harum di langit, tercatat di sisi Allah bersama para penjaga ilmu dan iman.

Tuduhan feodalisme, eksploitasi ekonomi, superior-inferior, pasti lahir dari pandangan orang yang memotret tradisi kehidupan kiai, santri dan pesantren hanya dari kulit luarnya, tanpa menembus ruh pendidikan yang dikandungnya. Padahal, dalam tradisi pesantren, ketaatan bukan perbudakan, melainkan pendidikan jiwa. Santri tidak sedang dipaksa tunduk pada manusia, tetapi sedang belajar adab, kerendahan hati dan jiwa melalui jalan perilaku sang guru yang mengajarkan tentang kebenaran. Kiai tidak sedang berperan sebagai penguasa, tetapi sebagai penuntun jiwa agar manusia bisa mengenal batas dirinya. Di pesantren, ketundukan bukanlah simbol feodal, melainkan latihan spiritual untuk menaklukkan ego, sesuatu yang justru sangat langka di tengah budaya destruktif yang memuja kebebasan tanpa kendali.

Feodalisme Baru: Di Bawah Bayang-Bayang Viralitas

Ironisnya, di luar pesantren, lahir bentuk baru dari feodalisme yang lebih halus namun lebih kejam, yaitu feodalisme digital. Ia tidak lagi bertumpu pada darah biru para bangsawan, tetapi pada angka dan algoritma. Ia menjadikan manusia tunduk kepada sistem yang diatur oleh layar dan sorotan kamera. Mereka yang menuduh pesantren feodal, tanpa sadar justru sedang menjadi feodal bagi popularitas. Mereka mengejar tenar dan viral, mengukur kebenaran dari jumlah tayangan, dan menakar harga diri dari banyaknya followers. Segala cara dihalalkan demi rating. Di balik senyum di depan kamera, ada tekanan target dan kehilangan arah hidup. Popularitas menjadi tuhan baru, dan manusia rela menggadaikan nuraninya untuk memuaskan dahaga pengakuan. Mereka inilah feodal baru, bukan karena duduk di singgasana, tetapi karena berlutut di hadapan ketenaran. Mereka menebar sensasi, tapi lupa menanam moral. Mereka berteriak tentang kebebasan, tapi diam-diam menjadi budak citra dan tepuk tangan.

Pesantren dan Jalan Pembebasan

Pesantren justru hadir sebagai jalan pembebasan yang sejati. Ia membebaskan manusia dari perbudakan terhadap dirinya sendiri, terhadap ego, terhadap nafsu, terhadap pamrih duniawi. Santri diajarkan untuk ikhlas dalam kerja, jujur dalam niat, dan sabar dalam ujian. Setiap kerja kecil di pesantren, menyapu halaman, membersihkan kamar mandi, menimba air wudhu, menyiapkan makan untuk jamaah, bukanlah tanda perendahan, melainkan latihan pengabdian. Di dunia luar, banyak yang tak paham. Mereka menuduh: “Itu feodal, itu perbudakan.” Padahal, santri tidak pernah diperintah, mereka dipanggil. Kiai tidak menguasai santri, tetapi beliau mendidik. Tradisi pesantren bukan melahirkan manusia yang patuh secara buta, tetapi manusia yang merdeka karena sadar akan nilai-nilai ketaatan yang luhur. Pesantren melatih manusia agar terbiasa tunduk kepada aturan moral, bukan kepada hawa nafsu, bahkan mengejar viral. Di sinilah letak pembebasan itu: kebebasan yang lahir dari disiplin hati, bukan dari kebebasan yang liar tanpa arah.

Berani Tidak Viral, Tapi Bernilai

Di tengah dunia yang sibuk menampilkan diri, santri justru dilatih untuk menghilangkan diri. Mereka belajar menjadi “tidak viral” dengan bangga. Tak butuh kamera untuk mengabadikan amalnya, tak perlu tepuk tangan untuk meneguhkan langkahnya. Ia cukup ingin dikenal oleh Allah, bukan oleh manusia. Inilah keindahan yang sering luput dilihat oleh mereka yang gemar menilai pesantren dari permukaan: bahwa di balik kesunyian pesantren, tersimpan revolusi batin yang sesungguhnya. Sebuah revolusi yang tidak menuntut perubahan sosial instan, tapi menumbuhkan perubahan hati yang abadi. Kiai mengajarkan jalan sunyi, jalan pengabdian tanpa pamrih. Santri menjalani proses panjang: membersihkan hati, menundukkan ego, dan menumbuhkan cinta yang jernih kepada ilmu. Kiai tidak membentuk pengikut, tapi menyiapkan penerus. Santri tidak berposisi sebagai bawahan, tapi sebagai pewaris nilai.

Cermin Zaman

Kita hidup di masa ketika yang berisik tampak viral, dan yang viral tampak seolah benar, dan yang diam dalam ketenangan dianggap salah dan kalah. Ketika yang viral dianggap visioner, dan yang sabar dianggap tertinggal. Kita mulai kehilangan makna “berjuang dalam diam”, karena dunia sudah terlalu bising oleh tepuk tangan. Padahal, kemajuan tanpa arah hanyalah kebingungan yang dipoles indah, dan kebebasan tanpa akhlak adalah kehancuran yang menunggu waktu. Di sini, peran lain dari sebuah sistem pendidikan pesantren hadir sebagai penyeimbang moral bangsa. Ia menanamkan kesadaran bahwa kemajuan sejati tidak lahir dari kecepatan, tetapi dari kedalaman. Feodal bukanlah mereka yang menunduk dengan hormat kepada kiai, tetapi mereka yang menundukkan nuraninya di hadapan kezaliman dan popularitas. Feodal bukanlah mereka yang hidup sederhana di pesantren, tetapi mereka yang rela menjual prinsip demi rating dan ketenaran.

Maka, marilah kita berkaca dengan jujur. Siapakah yang sebenarnya feodal di zaman ini?
Apakah para santri yang berkhidmah berjuang menuntut ilmu di pesantren dengan penuh cinta, pengorbanan dan kesabaran? Ataukah mereka yang bekerja di bawah tekanan popularitas, mengejar viralitas, hingga kehilangan moralitas? Pesantren mengajarkan manusia untuk bebas dari segala bentuk perbudakan, termasuk perbudakan terhadap diri sendiri. Ia mengajarkan bahwa kemuliaan sejati tidak datang dari banyaknya followers, susbcriber, like jempol dan pengikut, tetapi dari seberapa jauh dan dalam seseorang mengikuti cahaya Allah dan Rasul-Nya. Wajib kita syukuri, di tengah dunia yang haus tepuk tangan, pesantren sejak dahulu kala hingga kini masih setia mengajarkan nilai-nilai ketuhanan, perjuangan, pengorbanan, kedamaian, menciptakan keheningan, keikhlasan, dan moralitas. Dan di situlah letak kemerdekaan yang sesungguhnya.