Oleh: Abdul Matin Bin Salman

Di tengah dentum semangat para sahabat yang bersiap menjemput perang Uhud, dua anak muda berdiri di antara barisan pasukan perang, yaitu Rafi‘ bin Khadij dan Samurah bin Jundub. Tubuh mereka kecil, langkah mereka ringan, namun dada mereka tak kalah membara menyalakan api cinta kepada Allah dan Rasulullah. Tatkala Rasulullah menyeleksi para prajurit, dua anak remaja tersebut diminta untuk meninggalkan barisan pasukan. Alasannya jelas: keduanya masih terlalu muda untuk sebuh peperangan. Keduanya dinilai belum waktunya memikul tanggungjawab yang berat, apalagi mengangkat pedang di medan laga peperangan. Tapi bagaimana mungkin, hati seorang pecinta rela diam, sementara kekasihnya (Rasulullah) berangkat ke medan perjuangan? Rafi‘ tak patah semangat, ia memberanikan diri maju ke hadapan Rasulullah. Matanya yang masih sangat suci berkaca, suaranya gemetar di antara isak dan harapan. Ia berkata: Ya Rasulallah, aku pandai memanah, maka izinkan aku ikut ambil peran dalam berjihad di jalan Allah kali ini. Rasulullah tersenyum (senyuman seorang guru yang paham arti cinta seorang murid kepadanya). Rasulullah tak kuasa memadamkan semangat Rafi‘, karena ia memang dikenal sangat pandai memanah.
Namun dari belakang, Samurah menangis. Bukan karena cemburu, tapi karena hatinya terasa kosong. Keduanya berebut kebaikan dan pengorbanan di jalan Allah. Samurah ingin turut serta menorehkan langkah dalam sejarah pengabdian suci. Ia berkata kepada ayah tirinya, bahwa sesungguhnya ia pun sangat berhasrat menginguti misi besar ini. Akan tetapi, mengapa Rasulullah mengijinkan Rafi’, sementara menolak keterlibatannya. Tak kalah akal, semangat juangnya memberinya ide yang brilian. Ia pun memberanikan diri menyampaikan tekadnya yang tak kalah besar dari Rafi’. Ia berkata: Ya Rasulallah, aku lebih kuat dari Rafi’, maka izinkan pula aku bergabung dalam pasukan perangmu! Untuk menguji keberannya, Rasulullah pun memanggil keduanya untuk membuktikan kekuatan Samurah. Debu padang Uhud yang berterbangan menjadi saksi kehebatan keduanya, ketika dua anak remaja tersebut saling mengunci lengan. Yang terlihat dari keduanya adalah semangat yang besar meski fisik mereka terlihat kecil. Dan ketika Samurah menjatuhkan Rafi‘ ke tanah, Rasulullah tersenyum lebar, dan mengizinkannya ikut berjuang, sehingga beliau pun mengizinkannya ikut perang. Dua bocah itu akhirnya berjalan di barisan para mujahid, bukan karena pedang di tangan, tapi karena cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya yang begitu kuat. Mereka tidak ingin dikenal, hanya ingin dekat dengan Nabi mereka, berbagi lelah, berbagi doa, berbagi cinta kepada Allah.
Demikian pula jiwa seorang santri di pesantren. Ia tidak datang untuk disanjung, tidak mengejar materi dan profesi kelak, tetapi untuk sebuah mengabdi di masa depan. Ia tidak mencari pangkat, tapi ridha Allah dan barakah. Ketika halam pesantren kotor, seorag santri tidak perlu menunggu perintah kiai: Nak, tolong sapu halaman pesantren ini, atau Nak, Tolong bersihkan kamar mandi. Seorang santri bertindak dengan nurani yang terasah sejak dini. Tindakannya itu belum cukup bagi seorang santri, hingga ia akan terus berlatih menemukan kebaikan-kebaikan lain yang mampu ia lakukan. Wajah santri akan berbinar manakala ia mempu melakukan pengabdian yang tulus. Di situlah kebanggaan seorang santri. Di situlah nilai seorang santri yang merasa dipercaya dan diberi kesempatan oleh kiainya. Bagi mereka, setiap tindakannya adalah panggilan cinta, bukan beban, apalagi merasa direndahkan. Setiap tetes keringat yang jatuh di halaman pesantren adalah dzikir tanpa suara, dan setiap kerja kecil yang mereka lakukan adalah bait puisi pengabdian di jalan Allah.
Orang luar yang tak pernah “meneguk air pesantren” walau setetes, tak akan pernah mengerti, apalagi memahami ruh dan nilai-nilai pendidikan pesantren. Mayoritas umat Muslim di Indonesia sangat memahami tradisi pesantren. Ciri khas pendidikannya adalah selalu mengajarkan kemandirian. Seorang santri harus menguasai pengetahuan dan ilmu agamanya. Mulai dari memahami ayat-ayat al-Qur’an, hadis Nabi, hukum-hukum syari’at, hingga ilmu logika dan filsafat. Di sisi lain, seorang santri juga harus melatih dirinya sehingga menjadikannya mampu melakukan apapun demi kebutuhan individualnya maupun umat di sekitarnya. Mereka harus mampu menjadi manusia yang benar-benar meniru akhlag Rasul. Nilai-nilai pengetahuan, ilmu dan kemandirian ini, sama sekali tidak akan pernah dapat dipahami oleh orang-orang di luar “siklus keberkahan.” Mereka tidak akan dapat memahami, mengapa santri harus terlibat dalam kegiatan membersihkan masjid, memasak di dapur, mengangkat air, membantu ngecor gedung pondok pesantren. Tentu, mereka akan menuduh: Itu perbudakan, bukan pendidikan!
Santri pasti paham, bahwa level mereka tidak diperintah, melainkan autometicly keterpanggilan jiwa. Kyai tidak mengajarkan karakter dengan memerintah, tetapi mengetuk hati nurani para santrinya melalui doa dan kasih saying. Harapan kiai hanya satu, kelak ketika mereka hidup di tengah-tengah masyarakatnya, memiliki empati yang tumbuh dari hati nurani, bukan atas dasar perintah atau bahkan keterpaksaan. Kiai tidak pernah memaksa santri, melainkan melatih dan dilatih untuk taat. Mereka tidak sedang melayani manusia, tetapi melatih diri bagaimana perintah Allah dijalankan penuh dengan ketaatan, dan melayani Allah melalui tangan-tangan keberkahan para gurunya (kiai). Oleh karena itu, kedekatan santri dengan kiai bukanlah rantai pengikat, tetapi simpul keberkahan. Kiai adalah cermin ilmu dan cahaya, sedangkan santri adalah pelita kecil yang menyalakan diri dari sinar itu. Seorang santri pasti akan melakukan amanah sekecil apa pun itu dengan komitmen dan konsisten. Mulai dari menyapu lantai masjid, menyiapkan air wudhu, atau menjaga pintu ndalem, bukan beban baginya, justru hatinya bergetar, sumringah menerima kepercayaan sang guru. Sebaliknya, ketika seorang santri tidak dilibatkan dalam kegiatan pesantren, hatinya terasa hampa. Ia merasa seakan kehilangan arah, bukan karena haus perhatian, melainkan karena rindu berkontribusi. Dalam diam, ia merasa hidupnya belum memberi manfaat. Kesedihan itu bukan karena ia tak dihargai, tetapi karena ia tak sempat menjadi bagian dari aliran barakah perjuangan pesantrennya. Maka jangan heran bila ada santri yang meneteskan air mata hanya karena tak diajak ro’an — kerja bakti membersihkan halaman pesantren — atau karena tak mendapat giliran ronda malam. Bagi seorang santri, pengabdian bukan sekadar kewajiban, melainkan cara hati mencintai.
Tradisi pesantren mewarisi jiwa Rafi‘ dan Samurah: jiwa anak muda yang tak tahan melihat perjuangan berjalan tanpa keterlibatannya. Pesantren bukan tempat perintah tanpa makna, tapi madrasah bahkan universitas kehidupan, di mana pekerjaan tidak didasarkan pada perintah, tetapi lahir dari keterpanggilan dan kesadaran: bermanfaat bagi orang lain. Menjalankan pengabdian di pesantren adalah bagian dari latihan taat, dan ketaatan menjadi jalan menuju nur Ilahi yang akan membawa kesuksesan dunia dan akhirat. Maka, bagi santri sejati, membersihkan kamar mandi pun bisa menjadi jihad. Sebab di setiap siraman air, terselip doa agar hatinya ikut disucikan oleh Allah. Di setiap kerja kecil, tersimpan harapan agar namanya terhitung di antara pejuang cinta Allah dan Rasul-Nya.
Dan inilah yang dimaksud dengan “Jalan Santri Menuju Pembebasan.” Bukan pembebasan dari kiai, bukan pula pembebasan dari aturan pesantren, tetapi pembebasan dari belenggu diri. Dari keangkuhan yang menuntut penghormatan, dari hawa nafsu yang ingin dilihat, dari keinginan untuk selalu menjadi pusat perhatian. Santri sejati tahu, musuh paling berat bukan orang lain, tetapi nafsu di dalam diri yang membuatnya enggan tunduk, enggan taat, enggan melayani. Maka pesantren bukan penjara bagi kebebasan, tetapi taman, tempat jiwa-jiwa muda belajar menjadi merdeka. Mereka belajar bahwa kebebasan sejati bukan berarti “melakukan apa yang kau mau”, tetapi “mampu menahan diri dari apa yang dilarang oleh Allah.” Mereka belajar bahwa kemuliaan bukan pada pakaian yang megah, tetapi pada hati yang rela berdebu demi keberkahan. Ketika santri menyapu halaman pesantren, ia sedang menyapu debu kesombongan dari dadanya. Ketika ia membersihkan kamar mandi, ia sedang membersihkan hatinya dari najis riya dan ujub. Ketika ia menimba air wudhu untuk jamaah, ia sedang menimba keberkahan dari langit cinta Allah. Itulah jalan santri menuju pembebasan, jalan sunyi tapi bercahaya, jalan yang mengajarkan bahwa taat kepada Allah adalah kemerdekaan tertinggi, dan khidmah adalah bentuk cinta yang paling murni. Mereka yang menuduh santri diperbudak, tidak tahu bahwa santri justru sedang menjadi manusia paling merdeka, karena ia telah melepaskan diri dari perbudakan hawa nafsu. Maka selama masih ada santri yang bangun sebelum fajar, yang menyapu halaman dengan doa, yang menunduk atau bahkan “ngesot” di hadapan kiai dengan penuh hormat dan cinta, selama itu pula cahaya pembebasan akan tetap hidup di setiap jiwa mereka.