Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.”
Namun, pohon itu bukan pohon sembarangan. Ia tumbuh dari akar keimanan yang kuat, disiram oleh air keikhlasan, dan tumbuh besar dalam naungan tauhid yang murni. Pohon itulah sosok Mas Sariyanto—seorang ayah, guru kehidupan, sekaligus teladan sejati bagi putranya, Mas Mustaqim.
Di balik kesederhanaan dan peluh yang menetes setiap hari, tersimpan kekayaan jiwa yang tak ternilai harganya. Bukan emas, bukan tanah, bukan warisan materi yang Mas Sariyanto tinggalkan, tapi warisan nilai: iman yang teguh, keikhlasan dalam berbuat, kesungguhan dalam bekerja, dan semangat untuk selalu memberi manfaat bagi sesama.
Dalam sebuah pagi yang hangat, tampak dua sosok bekerja di depan sebuah bangunan sederhana. Mas Sariyanto, dengan cangkul di tangan, mencampur pasir dan semen. Di sebelahnya, Mustaqim, sang anak, menyiram gundukan pasir dengan air. Keduanya tak saling menyuruh, tak ada yang memerintah atau diperintah. Mereka bekerja bersama, dalam diam yang penuh makna. Dalam peluh mereka, ada cerita tentang cinta. Dalam kerja keras mereka, ada doa yang tak terdengar. Dalam kebersamaan itu, ada pendidikan akhlak yang jauh lebih dalam dari sekadar kata-kata.
Mas Sariyanto telah lama memahami bahwa tugas seorang ayah bukan hanya mencari nafkah, tapi juga membentuk karakter, menanamkan iman, dan membimbing dengan keteladanan. Ia membesarkan anak-anaknya dengan tangan sendiri dan hati yang penuh keyakinan. Dalam kesederhanaan hidupnya, ia menunjukkan bahwa nilai-nilai tauhid tak hanya diajarkan lewat lisan, tapi diwujudkan dalam perbuatan: kejujuran, kesungguhan, dan keteguhan hati dalam menghadapi hidup.
Mas Mustaqim tumbuh menjadi remaja yang tidak manja oleh kenyamanan. Ia tidak asing dengan peluh dan debu. Ia tidak malu bekerja bersama ayahnya, karena dari sanalah ia belajar harga diri. Ia tahu, ayahnya bukan hanya sedang membangun bangunan fisik, tapi sedang membangun jati diri, akhlak, dan masa depannya. Ia belajar bahwa bekerja adalah ibadah, dan setiap tindakan yang diniatkan karena Allah akan bernilai pahala.
Lebih dari sekadar hubungan ayah dan anak, mereka adalah sahabat dalam perjuangan. Dalam diri Mustaqim, hidup kembali semangat yang dulu tumbuh dalam diri ayahnya. Jiwa sosial yang kuat, ringan tangan membantu, selalu siap hadir untuk orang lain tanpa pamrih—itulah warisan batin yang tak bisa dihitung dengan angka.
Kisah mereka bukan hanya milik satu keluarga, tapi milik kita semua. Sebuah pengingat bahwa kemuliaan tidak harus lahir dari kemapanan, tapi bisa tumbuh dari keterbatasan yang dipenuhi keimanan. Bahwa seorang ayah bisa menjadi teladan terbesar dalam hidup anaknya, bahkan tanpa banyak bicara. Dan bahwa generasi hebat akan lahir ketika orang tua tidak hanya membesarkan tubuh anak-anak mereka, tapi juga membesarkan jiwanya.
Semoga kisah Mas Sariyanto dan Mas Mustaqim menjadi cahaya bagi banyak keluarga—menginspirasi para orang tua untuk terus mendidik dengan cinta dan keteladanan, dan memotivasi para anak muda untuk menghormati, belajar, dan meneladani orang tuanya. Karena sejatinya, ketika iman dan ikhlas menjadi dasar hidup, maka perjuangan sekecil apa pun akan menjadi amal besar di sisi Allah.

